Pengendalian kebakaran hutan merupakan masalah besar pada zaman ini. Efek dari badai La Nina selama 4 tahun (dari 2011 s.d 2015) telah menciptakan kondisi kekeringan parah di negara pantai barat Amerika. Kekeringan di California dan hutan-hutan sekitar pantai barat menyebabkan peningkatan kebakaran hutan pada tahun 2015. Terjadinya kebakaran hutan bergantung pada banyak karakteristik lingkungan hutan, seperti: kadar air dalam tanah, topografi hutan, infrastruktur hutan, cakupan iklim mikro dalam hutan, dan terutama spesies dalam hutan. Perpaduan pemahaman karakteristik spasial dapat membantu mengatur kebakaran hutan secara efektif. Pengembangan model geospasial telah dilakukan untuk menentukan lokasi rentan terjadi kebakaran hutan di Sumter National Forest, South Carolina, USA. Penulis menggunakan lereng, aspek, persebaran tingkat kemiringan, tekanan kompleks lereng, NDVI, jalan penyangga, kerapatan biomasa bahan bakar, beban bahan bakar perkotaan serta frekuensi sambaran petir untuk mengembangkan model geospasial yang luas dan otomatis secara keseluruhan sehingga dapat memprediksi lokasi yang rentan terjadi kebakaran hutan pada skala kecil maupun besar. (Amatya, 2016)
Kebakaran hutan menjadi salah satu masalah lingkungan terbesar di Indonesia karena kebakaran yang muncul secara berkala dalam skala besar. Hasilnya, berpotensi kehilangan kayu hutan, biodiversiti (keanekaragaman hayati) dan ekosistem. Kerugian ekonomi tahunan dari kebakaran hutan serta lahan di sekelilingnya pada satu dekade terakhir atau lebih dan bagaimana hal ini mempengaruhi produk nasional bruto (GNP, Gross National Product) tidak sepenuhnya diketahui. Kebakaran hutan di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1997 s.d 1998 saja, diperkirakan telah menyebabkan kerugian sekitar 8,7 - 9,6 Miliar Dollar Amerika. (Harada, 2016)
Kebakaran hutan yang terjadi pada bulan Juni-Juli tahun 2013 di wilayah Riau, Sumatra serta Kalimantan telah memaksa pemerintah Malaysia dan Singapura menyatakan keadaan darurat dan mendesak masyarakat agar menetap di dalam rumah. 261 titik api telah terdeteksi di Provinsi Riau saja dan berpotensi membawa asap tebal kepada negara Singapura dan Malaysia jika pemerintah Indonesia tidak melakukan upaya serius dalam menanggulangi daerah kebakaran hutan. (Jayakumar, 2015)
Kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015 menjadi gambaran dari bencana lingkungan terburuk akibat ulah tangan manusia semenjak insiden tumpahan minyak mentah di Teluk Mexico yang dikendalikan oleh BP (British Petroleum). Ribuan titik api sengaja dibuat sebagai clearing pada lahan perkebunan kelapa sawit dan industri kertas. Selama periode bulan Januari hingga Oktober tahun 2015 terdapat 117.000 pusat kebakaran hutan di Indonesia melalui deteksi satelit, sebagian besarnya dicurigai oleh faktor kesengajaan untuk pembukaan lahan pertanian. Guido van der Werf dari Fakultas Ilmu Alam dan Kebumian Universitas Vrije Amsterdam menaksir emisi yang terbentuk di atmosfer menggunakan gambaran titik api dan vegetasi via satelit. Dia memperkirakan kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015 menghasilkan emisi kurang lebih 1.713 juta metrik ton (sekitar 1.888 ton) setara karbon dioksida pada 9 November. Perkiraan ini merupakan hasil dari pengolahan data yang dikumpulkan melalui satelit pada pusat-pusat titik api. Masih terdapat beberapa contoh termasuk dari TET-1 milik Jerman dan MODIS milik NASA yang dapat mencakup seluruh dunia telah mengirimkan data tanggal 24 Juli. Radiasi aktif pada emisi kebakaran tersebut telah diliput oleh satelit sebagai berkas file yang didedikasikan untuk tujuan ini. Ilmuan dapat mengkalkulasikan ukuran, temperatur serta jumlah titik api. Peneliti juga dapat menghitung jumlah emisi yang dihasilkan. (Kshetri, 2015)
Efek jangka pendek terjadinya kebakaran hutan Dipteroceae (suku Meranti yang banyak tumbuh di Indonesia) pada satwa liar belum dapat disebutkan dengan baik. Kebanyakan hewan dapat melarikan diri dari api. Meskipun demikian, penurunan kelimpahan mamalia kecil tercatat satu bulan
setelah terbakarnya sebagian dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatera Barat tahun 1997. Reptil di dalam hutan juga menurun drastis. Setelah terjadi kebakaran, populasi burung dan spesies yang banyak ditemukan di sekitar Bukit Barisan Selatan jumlahnya berubah, juga komposisinya bergeser karena perubahan ketersediaan sumber pangan. Burung pemakan buah (frugivora) dan omnivora jumlahnya menurun, sementara burung pemakan serangga (insectivora) mengalami peningkatan. (Ghazoul, 2016)
Kebakaran hebat juga mempengaruhi habitat dari spesies langka serta spesies yang membutuhkan penanganan sensitif seperti Burung Hantu Tutul dari California (Strix occidentalis occidentalis). Spesies hutan ini diseleksi secara utuh dari area yang tingkat kerusakannya sangat tinggi di daerah kebakaran McNally agar dapat mencari makan terlebih dahulu dari daerah yang kerusakannya lebih rendah atau hutan dewasa/tua yang tidak terbakar. Pembaharuan lahan seluas 90.265 Ha dengan 2 titik pusat kebakaran tahun 2011 pada Hutan Pinus panderosa (P. panderosa) dan Hutan konifer campuran di Arizona menunjukkan peningkatan populasi Burung Hantu Tutul Mexico (Strix occidentalis lucida) dan peningkatan pada tingkat reproduksinya terutama pada daerah yang rentan terjadi kebakaran. Kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya populasi mangsa berupa mamalia kecil. Demikian juga yang terjadi pada kebakaran di tahun sebelumnya, pencarian yang dilakukan setelah terjadinya kebakaran ditemukan 92% bekas peninggalan sarang burung hantu tutul California pada wilayah yang terbakar. Penemuan ini bahkan melebihi rata-rata pembuatan sarang burung hantu tahunan pada hutan dewasa/tua yang tidak terbakar ditambah pasangan indukan yang tidak terdampak efek kebakaran dari lahan yang rentan terjadi kebakaran. (DellaSala, 2015)
DAFTAR PUSTAKA:
Amatya D M, Williams T M, Bren L, Carmen de Jong, 2016. Forest Hydrology: Processes, Management and Assessment. Center for Forested Wetlands Research, South Carolina, USA.
DellaSala D A, Hanson C T, 2015. The Ecological Importance of Mixed-Severity Fires: Nature's Phoenix. Geos Institute, Oregon
Ghazoul J, 2016. Dipterocarp Biology, Ecology, and Conservation. Oxford University Press, UK.
Harada K, Matsuyama K, Himoto K, Nakamura Y, Wakatsuki K, 2016. Fire Science and Technology 2015: The Proceedings of 10th Asia-Oceania Symposium on Fire Science and Technology. Kyoto University, Japan.
Jayakumar S, Koh T, Beckman R, Hao Duy Phan, 2015. Transboundary Pollution: Evolving Issues of International Law and Policy. Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham, UK.
Kshetri N, 2015. Big Data's Big Potential in Developing Economies: Impact on Agriculture, Health and Environmental Security. The University of North Carolina, Greensboro, USA.
Kebakaran hutan menjadi salah satu masalah lingkungan terbesar di Indonesia karena kebakaran yang muncul secara berkala dalam skala besar. Hasilnya, berpotensi kehilangan kayu hutan, biodiversiti (keanekaragaman hayati) dan ekosistem. Kerugian ekonomi tahunan dari kebakaran hutan serta lahan di sekelilingnya pada satu dekade terakhir atau lebih dan bagaimana hal ini mempengaruhi produk nasional bruto (GNP, Gross National Product) tidak sepenuhnya diketahui. Kebakaran hutan di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1997 s.d 1998 saja, diperkirakan telah menyebabkan kerugian sekitar 8,7 - 9,6 Miliar Dollar Amerika. (Harada, 2016)
Kebakaran hutan yang terjadi pada bulan Juni-Juli tahun 2013 di wilayah Riau, Sumatra serta Kalimantan telah memaksa pemerintah Malaysia dan Singapura menyatakan keadaan darurat dan mendesak masyarakat agar menetap di dalam rumah. 261 titik api telah terdeteksi di Provinsi Riau saja dan berpotensi membawa asap tebal kepada negara Singapura dan Malaysia jika pemerintah Indonesia tidak melakukan upaya serius dalam menanggulangi daerah kebakaran hutan. (Jayakumar, 2015)
Kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015 menjadi gambaran dari bencana lingkungan terburuk akibat ulah tangan manusia semenjak insiden tumpahan minyak mentah di Teluk Mexico yang dikendalikan oleh BP (British Petroleum). Ribuan titik api sengaja dibuat sebagai clearing pada lahan perkebunan kelapa sawit dan industri kertas. Selama periode bulan Januari hingga Oktober tahun 2015 terdapat 117.000 pusat kebakaran hutan di Indonesia melalui deteksi satelit, sebagian besarnya dicurigai oleh faktor kesengajaan untuk pembukaan lahan pertanian. Guido van der Werf dari Fakultas Ilmu Alam dan Kebumian Universitas Vrije Amsterdam menaksir emisi yang terbentuk di atmosfer menggunakan gambaran titik api dan vegetasi via satelit. Dia memperkirakan kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015 menghasilkan emisi kurang lebih 1.713 juta metrik ton (sekitar 1.888 ton) setara karbon dioksida pada 9 November. Perkiraan ini merupakan hasil dari pengolahan data yang dikumpulkan melalui satelit pada pusat-pusat titik api. Masih terdapat beberapa contoh termasuk dari TET-1 milik Jerman dan MODIS milik NASA yang dapat mencakup seluruh dunia telah mengirimkan data tanggal 24 Juli. Radiasi aktif pada emisi kebakaran tersebut telah diliput oleh satelit sebagai berkas file yang didedikasikan untuk tujuan ini. Ilmuan dapat mengkalkulasikan ukuran, temperatur serta jumlah titik api. Peneliti juga dapat menghitung jumlah emisi yang dihasilkan. (Kshetri, 2015)
Efek jangka pendek terjadinya kebakaran hutan Dipteroceae (suku Meranti yang banyak tumbuh di Indonesia) pada satwa liar belum dapat disebutkan dengan baik. Kebanyakan hewan dapat melarikan diri dari api. Meskipun demikian, penurunan kelimpahan mamalia kecil tercatat satu bulan
setelah terbakarnya sebagian dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatera Barat tahun 1997. Reptil di dalam hutan juga menurun drastis. Setelah terjadi kebakaran, populasi burung dan spesies yang banyak ditemukan di sekitar Bukit Barisan Selatan jumlahnya berubah, juga komposisinya bergeser karena perubahan ketersediaan sumber pangan. Burung pemakan buah (frugivora) dan omnivora jumlahnya menurun, sementara burung pemakan serangga (insectivora) mengalami peningkatan. (Ghazoul, 2016)
Kebakaran hebat juga mempengaruhi habitat dari spesies langka serta spesies yang membutuhkan penanganan sensitif seperti Burung Hantu Tutul dari California (Strix occidentalis occidentalis). Spesies hutan ini diseleksi secara utuh dari area yang tingkat kerusakannya sangat tinggi di daerah kebakaran McNally agar dapat mencari makan terlebih dahulu dari daerah yang kerusakannya lebih rendah atau hutan dewasa/tua yang tidak terbakar. Pembaharuan lahan seluas 90.265 Ha dengan 2 titik pusat kebakaran tahun 2011 pada Hutan Pinus panderosa (P. panderosa) dan Hutan konifer campuran di Arizona menunjukkan peningkatan populasi Burung Hantu Tutul Mexico (Strix occidentalis lucida) dan peningkatan pada tingkat reproduksinya terutama pada daerah yang rentan terjadi kebakaran. Kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya populasi mangsa berupa mamalia kecil. Demikian juga yang terjadi pada kebakaran di tahun sebelumnya, pencarian yang dilakukan setelah terjadinya kebakaran ditemukan 92% bekas peninggalan sarang burung hantu tutul California pada wilayah yang terbakar. Penemuan ini bahkan melebihi rata-rata pembuatan sarang burung hantu tahunan pada hutan dewasa/tua yang tidak terbakar ditambah pasangan indukan yang tidak terdampak efek kebakaran dari lahan yang rentan terjadi kebakaran. (DellaSala, 2015)
DAFTAR PUSTAKA:
Amatya D M, Williams T M, Bren L, Carmen de Jong, 2016. Forest Hydrology: Processes, Management and Assessment. Center for Forested Wetlands Research, South Carolina, USA.
DellaSala D A, Hanson C T, 2015. The Ecological Importance of Mixed-Severity Fires: Nature's Phoenix. Geos Institute, Oregon
Ghazoul J, 2016. Dipterocarp Biology, Ecology, and Conservation. Oxford University Press, UK.
Harada K, Matsuyama K, Himoto K, Nakamura Y, Wakatsuki K, 2016. Fire Science and Technology 2015: The Proceedings of 10th Asia-Oceania Symposium on Fire Science and Technology. Kyoto University, Japan.
Jayakumar S, Koh T, Beckman R, Hao Duy Phan, 2015. Transboundary Pollution: Evolving Issues of International Law and Policy. Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham, UK.
Kshetri N, 2015. Big Data's Big Potential in Developing Economies: Impact on Agriculture, Health and Environmental Security. The University of North Carolina, Greensboro, USA.
Comments
Post a Comment