Kebutuhan pasokan produk pertanian semakin hari kian meningkat. Permintaan berasal dari berbagai wilayah, terutama daerah perkotaan yang notabene dipenuhi dengan permukiman padat penduduk. Proses pertumbuhan produk yang lama dan sistem distribusi yang belum sempurna menarik minat penduduk perkotaan untuk melakukan budidaya sendiri. Tujuannya agar produk yang didapat masih dalam keadaan segar dan harganya tidak mahal.
Berkurangnya lahan pertanian di pedesaan juga ikut andil dengan tingginya harga. Berkurangnya lahan yang dapat diolah, sedangkan permintaan produk semakin bertambah dapat mengakibatkan terjadinya kelangkaan produk. Kesetimbangan permintaan dengan pemenuhan produk harus tetap dijaga. Alternatifnya adalah dengan mengoptimalisasi penggunaan lahan berukuran kecil sedangkan memiliki tingkat produktifitas tinggi.
Urban farming diartikan dengan bertani di daerah perkotaan. Untuk dapat melakukan kegiatan tani para farmer memerlukan beberapa hal. Persiapan pokok yang dibutuhkan antara lain, land (lahan pertanian), tools (peralatan bertani), experience (keahlian bertani). Ketiga hal di atas merupakan modal utama untuk menjadi petani yang handal.
Urban farming merupakan kemajuan dalam teknologi pertanian, dimana petani melakukan proses menanam hingga menghasilkan produk yang siap dikonsumsi di daerah perkotaan. Keunggulan dari urban-farming antara lain, dapat menghasilkan produk pertanian di daerah perkotaan, menambah kuota produksi pertanian global, mengurangi dampak kerusakan pembukaan lahan pertanian di kawasan hutan alam, menekan tingkat kelangkaan produk dengan pertumbuhan lahan berproduksi, menstabilkan harga dengan ketersediaan produk, dan membuka ruang hijau publik.
Kekurangan yang masih didapati pada urban-farming antara lain, menambah kelembapan mikro di sekitar lahan, menjadi tempat tumbuhnya serangga, dan menambah sampah organik. Hal di atas sering ditemui oleh para farmers di saat melakukan kegiatan produksi.
Ada beberapa tips yang dapat dilakukan untuk menyiasati kekurangan di atas. Pertama, adalah dengan penggunaan sistem irigasi mikro yang tepat guna. Saluran input (pemasukan) dan output (pembuangan) dibuat secara sistematis. Contoh dari sistem ini adalah teknologi hidroponik sebagai media tanam berbagai jenis tanaman sayuran.
Kedua, dengan memelihara organisme predator serangga di lingkup urban-farm. Beberapa jenis reptile dan aves terbukti memiliki tingkat konsumsi yang tinggi sebagai predator serangga di alam. Iguana, kadal, kura-kura dan tokek merupakan contoh predator serangga dari bangsa reptilian. Banyak burung hias yang dapat juga dipelihara sebagai predator serangga. Penghobi dan peternak burung kicau seringkali membutuhkan persediaan ulat dan serangga (didominasi jangkrik karena mudah dibudidayakan) dalam jumlah besar. Hal ini menjadi jalur penghubung antara urban-farming dengan hobies burung hias karena terjadi simbiosis yang saling menguntungkan.
Ketiga, penanganan seresah tanaman dan berbagai sampah organik. Sisa pembuangan dapat diolah menjadi kompos dan digunakan sebagai penyubur media tanam. Proses yang dilakukan dapat bermacam-macam, mulai dari yang sederhana seperti dihaluskan dan dikeringkan hingga perlakuan seperti fermentasi dan sejenisnya. Seresah dalam jumlah besar dapat menjadi bahan komposisi media tanam sehingga jumlah total tanaman dapat semakin diperbanyak seiring berjalannya masa produksi.
Saluran irigasi tersistem, penggunaan predator serangga dan recycling sampah organik dapat menambah efektifitas pengolahan lahan pertanian pada urban-farming.
Comments
Post a Comment