Pertanian termasuk ke dalam industri pokok yang berkaitan dengan produksi mesin, pupuk, konsentrat untuk ternak, agrokimia, air dan agroproses yang membutuhkan tenaga kerja secara intensif. Untuk memenuhi permintaan global yang mengalami peningkatan, tenaga kerja yang digunakan dalam kegiatan pertanian pun semakin melonjak dan dianggap penting. Batasan pertanian pun semakin berkembang ke daerah yang tidak ideal untuk kegiatan bertani. Hal ini diartikan dengan peningkatan permintaan tenaga kerja yang tidak sebanding dengan capaian peningkatan produksi pangan. Dalam banyak kasus, biaya tenaga kerja dapat mewakili hingga 20-50% dari total biaya input produksi pertanian termasuk biaya produksi dan mengangkut input seperti pupuk. Tanah yang kekurangan nutrisi tidak hanya membutuhkan pupuk dalam jumlah besar tetapi juga berkemungkinan membutuhkan volume air irigasi yang besar. Dalam beberapa kasus, air harus dipompa terlebih dahulu dari lapisan tanah dalam. Hal ini disebabkan oleh semakin terbatasnya ketersediaan air permukaan akibat fluktuasi musiman dan degradasi kualitas air secara terus menerus akibat kontaminasi antropogenik dimana sumber air tanah dijadikan satu-satunya sumber utama irigasi dan tujuan pertanian lainnya. Kepentingan air tanah untuk pertanian berlanjut hingga masa mendatang dan beriringan dengan kebutuhan untuk mempertahankan pasokan pangan yang semakin meningkat dengan pertumbuhan populasi dunia. Desalinasi secara termal terhadap air laut, air garam dan air payau di banyak daerah akan menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia untuk produksi pangan regional atau bahkan nasional. Permintaan untuk tenaga kerja pun semakin meningkat.
Tenaga kerja dengan basis industri pertanian pernah mengalami tiga perkembangan penting di masa lampau dan telah disaksikan oleh banyak negara maju pada masa Perang Dunia II. Pertama, hampir semua negara menjadi saksi menurunnya angka tenaga kerja yang terlibat pada produksi pertanian serta perkembangan teknologi yang telah meningkatkan modal dan input non-tenaga kerja lainnya di bidang pertanian. Teknologi pertanian yang baru muncul sebagian besar merupakan penghematan tenaga kerja. Kemudian teknologi telah menghasilkan tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi dan berkurangnya kebutuhan akan input tenaga kerja di sektor pertanian. Penurunan permintaan tenaga kerja terkait dengan perubahan teknologi di sektor pertanian telah mengurangi lapangan kerja baik bagi anggota keluarga petani sendiri maupun tenaga kerja yang disewa. Skala ekonomi juga menghasilkan industri pertanian yang lebih besar (kurang lebihnya) di banyak negara.
Kedua, ada juga peningkatan simultan dalam proporsi total tenaga kerja pertanian yang dipekerjakan di banyak negara. Sekali lagi, tren ini semakin konsisten dan meluas. Misalnya, di OECD ada 22 negara (Uni Eropa, Australia, Kanada, Islandia, Jepang, Selandia Baru, Norwegia dan Amerika Serikat) tenaga kerja yang dipekerjakan atau dibayar terdiri dari rata-rata 28,1 % tenaga kerja pertanian selama periode 1986-1990, namun pada tahun 1996-1997 tenaga kerja yang disewa merupakan 34,3 % dari total tenaga kerja. Kecenderungan ini dapat diamati di hampir semua negara, contohnya: Austria (12.5-14.5%), Belgia (16.3-23.6%), Perancis (19.1-27.8%), Belanda (33.5-41.%), Australia (31.8-40.2%) dan Kanada (57.6-61.1%). Dua tren ini cenderung tidak bergantung pada tenaga kerja dan lebih mengandalkan proporsi kinerjanya secara umum. Hal ini telah terjadi di sebagian besar negara maju. Dalam beberapa kasus, telah terjadi peningkatan tenaga kerja sewaan secara mutlak.
Ketiga, di masa ini lebih banyak peluang kerja lain (di luar pertanian) jika dibandingkan dengan pekerjaan dalam industri pertanian. Sebagian merupakan penyesuaian terhadap penurunan persyaratan tenaga kerja pertanian. Banyak keluarga petani sekarang memilih pekerjaan yang lebih bervariasi baik dalam industri pertanian maupun di luar pertanian. Bisa saja memilih perdagangan produk tani, karyawan suatu perusahaan maupun usaha non-pertanian lainnya.
Faktor yang telah diuraikan di atas memberi pengaruh pada moda tenaga kerja pertanian di masa sekarang dan kemampuan para tenaga kerja baik yang disewa maupun dari keluarga petani sendiri sebagai mata pencaharian di bidang pertanian. Lahan di daerah-daerah terpencil atau daerah dengan kepadatan penduduk rendah biasanya memunculkan beberapa polemik, yakni: (i) Dapatkah tenaga kerja lokal mendukung pemenuhan kapasitas industri pertanian. (ii) Apakah tenaga kerja paruh waktu dapat mendukung sistem produksi pertanian secara memadai. Lalu bagaimana penanganan pada musim panen besar dimana industri pertanian besar biasanya memerlukan tenaga yang intensif, seperti pada produk buah-buahan, sayur, maupun tanaman holtikultura yang banyak membutuhkan tenaga kerja.
Tenaga kerja sebagai input di bidang pertanian tidak homogen dan tuntutan tiap tenaga kerja bervariasi di sektor ini. Permintaan tenaga kerja bergantung pada jenis perusahaan dan pada kondisi pertumbuhan tertentu dapat menentukan kapan atau berapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Ada tiga jenis tenaga kerja yang dibutuhkan yang pekerja musiman, menahun dan paruh waktu.
DAFTAR PUSTAKA:
Bundscuh J, Chen G. 2014. Sustanable Energy Solutions in Agriculture. CRC Press, Taylor & Francis Group.
Findeis J, Vanderman A, Larson J, Runyan J. 2002. The Dinamic of Farm Labour: Constraints and Community Responses. CABI Publishing.
Tenaga kerja dengan basis industri pertanian pernah mengalami tiga perkembangan penting di masa lampau dan telah disaksikan oleh banyak negara maju pada masa Perang Dunia II. Pertama, hampir semua negara menjadi saksi menurunnya angka tenaga kerja yang terlibat pada produksi pertanian serta perkembangan teknologi yang telah meningkatkan modal dan input non-tenaga kerja lainnya di bidang pertanian. Teknologi pertanian yang baru muncul sebagian besar merupakan penghematan tenaga kerja. Kemudian teknologi telah menghasilkan tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi dan berkurangnya kebutuhan akan input tenaga kerja di sektor pertanian. Penurunan permintaan tenaga kerja terkait dengan perubahan teknologi di sektor pertanian telah mengurangi lapangan kerja baik bagi anggota keluarga petani sendiri maupun tenaga kerja yang disewa. Skala ekonomi juga menghasilkan industri pertanian yang lebih besar (kurang lebihnya) di banyak negara.
Kedua, ada juga peningkatan simultan dalam proporsi total tenaga kerja pertanian yang dipekerjakan di banyak negara. Sekali lagi, tren ini semakin konsisten dan meluas. Misalnya, di OECD ada 22 negara (Uni Eropa, Australia, Kanada, Islandia, Jepang, Selandia Baru, Norwegia dan Amerika Serikat) tenaga kerja yang dipekerjakan atau dibayar terdiri dari rata-rata 28,1 % tenaga kerja pertanian selama periode 1986-1990, namun pada tahun 1996-1997 tenaga kerja yang disewa merupakan 34,3 % dari total tenaga kerja. Kecenderungan ini dapat diamati di hampir semua negara, contohnya: Austria (12.5-14.5%), Belgia (16.3-23.6%), Perancis (19.1-27.8%), Belanda (33.5-41.%), Australia (31.8-40.2%) dan Kanada (57.6-61.1%). Dua tren ini cenderung tidak bergantung pada tenaga kerja dan lebih mengandalkan proporsi kinerjanya secara umum. Hal ini telah terjadi di sebagian besar negara maju. Dalam beberapa kasus, telah terjadi peningkatan tenaga kerja sewaan secara mutlak.
Ketiga, di masa ini lebih banyak peluang kerja lain (di luar pertanian) jika dibandingkan dengan pekerjaan dalam industri pertanian. Sebagian merupakan penyesuaian terhadap penurunan persyaratan tenaga kerja pertanian. Banyak keluarga petani sekarang memilih pekerjaan yang lebih bervariasi baik dalam industri pertanian maupun di luar pertanian. Bisa saja memilih perdagangan produk tani, karyawan suatu perusahaan maupun usaha non-pertanian lainnya.
Faktor yang telah diuraikan di atas memberi pengaruh pada moda tenaga kerja pertanian di masa sekarang dan kemampuan para tenaga kerja baik yang disewa maupun dari keluarga petani sendiri sebagai mata pencaharian di bidang pertanian. Lahan di daerah-daerah terpencil atau daerah dengan kepadatan penduduk rendah biasanya memunculkan beberapa polemik, yakni: (i) Dapatkah tenaga kerja lokal mendukung pemenuhan kapasitas industri pertanian. (ii) Apakah tenaga kerja paruh waktu dapat mendukung sistem produksi pertanian secara memadai. Lalu bagaimana penanganan pada musim panen besar dimana industri pertanian besar biasanya memerlukan tenaga yang intensif, seperti pada produk buah-buahan, sayur, maupun tanaman holtikultura yang banyak membutuhkan tenaga kerja.
Tenaga kerja sebagai input di bidang pertanian tidak homogen dan tuntutan tiap tenaga kerja bervariasi di sektor ini. Permintaan tenaga kerja bergantung pada jenis perusahaan dan pada kondisi pertumbuhan tertentu dapat menentukan kapan atau berapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Ada tiga jenis tenaga kerja yang dibutuhkan yang pekerja musiman, menahun dan paruh waktu.
DAFTAR PUSTAKA:
Bundscuh J, Chen G. 2014. Sustanable Energy Solutions in Agriculture. CRC Press, Taylor & Francis Group.
Findeis J, Vanderman A, Larson J, Runyan J. 2002. The Dinamic of Farm Labour: Constraints and Community Responses. CABI Publishing.
Comments
Post a Comment