Petani merupakan pemeran utama dan sebagai tolak ukur keberhasilan negara dalam mengembangkan pembangunan pertanian baik dari skala mikro-nya (rumah tangga petani) maupun makro-nya (organisasi pertanian secara menyeluruh). Pemerintah yang bertindak sebagai pengatur arah kebijakan serta pemrakarsa program-program pertanian mendorong para petani untuk mencapai targetnya yakni 'sasaran produksi nasional terpenuhi' sehingga negara dapat memenuhi kapasitasnya sebagai penumpu program swasembada pangan secara berkelanjutan.
Dasar Hukum: Permentan No.82 tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Poktan dan Gapoktan
Modal awal dalam pengoperasian kelompok tani adalah RDK dan RDKK yang didukung dengan program-program pemerintah seperti pupuk subsidi, asuransi lingkup kerja tani dan lainnya yang merupakan bukti kesungguhan pemerintah dalam mendampingi tata kelola pertanian secara menyeluruh. RDK/Rencana Definitif Kelompok adalah rencana yang disusun secara sistematis dan terperinci mengenai program kerja yang akan dilakukan selama masa produksi 1 tahun. Hal-hal yang terkait dengan rumusan RDK ini, misalnya sumber daya alam dan manusia (SDA/M), potensi wilayah, kinerja petani, tujuan produksi, pemilihan bibit, pembagian sektor kerja antar anggota dan sebagainya. RDK akan diperbaharui setelah berlangsung setahun dan RDK sebelumnya dicatat dan disimpan oleh pengurus poktan agar menjadi bahan evaluasi kerja pada periode RDK selanjutnya.
RDKK/Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok merupakan kumpulan RDK dalam beberapa tahun ditambahkan dengan sarana dan prasarana secara menyeluruh dalam lingkup kerja pertanian sepanjang kegiatan pertanian yang dilakukan poktan masih berjalan. Yang termasuk ke dalam RDKK selain RDK antara lain kredit permodalan usaha tani, biaya sewa lahan per 5-10 tahun, biaya pengadaan alat pertanian dan pengoperasiannya selama masa produksi, subsidi peralatan yang mengalami penyusutan selama pengoperasian, dan sebagainya. Biasanya poktan yang masih baru atau pengurus poktan yang belum begitu berpengalaman akan ada pendampingan dari dinas terkait atau penyuluh pertanian dalam penyusunan RDK/RDKK agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pendampingan dapat dilakukan secara terus-menerus atau dihentikan bergantung kesiapan pengurus dan anggota poktan dalam melakukan kegiatannya sebagai bagian dari sistem produksi nasional yang diharapkan dengan kesiapannya poktan dan gapoktan ini akan menyumbangkan nilai positif dalam neraca produksi nasional sehingga mencapai hasil akhir yang diharapkan yakni keswasembadaan pangan secara nasional.
Pada awalnya, kemandirian produksi dari poktan dan gapoktan ini akan meningkatkan ekonomi makro desa tempat tinggalnya. Bagi pemerintah ini merupakan awal yang bagus karena secara mikro dalam skala nasional pedesaan-pedesaan sudah dapat mandiri pangan dan memberikan surplus yang digunakan untuk menyuplai daerah perkotaan sekitar. Jika secara makro, seluruh pedesaan se-nusantara sudah dapat memenuhi kebutuhan (bukan permintaan) desanya dan surplus dapat memenuhi pasar kota sekitarnya. Tujuan pertama dari swasembada sudah ada di tangan. Produksi pertanian berjalan ke tingkat berikutnya, yakni penerapan lumbung pangan nasional bagi daerah kabupaten yang memenuhi persediaan kabupatennya sendiri kota terdekatnya dan masih terdapat surplus. Kabupaten ini bisa berdiri sendiri atau bersama dengan beberapa kabupaten lain untuk tujuan pemenuhannya dalam skala kabupaten-kabupaten tersebut dan kota di dekatnya. Jika sudah terbentuk beberapa kabupaten yang siap menjadi 'lumbung-lumbung pangan' tersebut, maka awal dari tujuan kedua sudah ada di depan mata. Sisanya tinggal mengumpulkan kabupaten lain dan sebaiknya untuk tiap provinsi terdapat sekitar 3 (tiga) lumbung atau minimal 1 (satu) disesuaikan dengan kesiapan infrastruktur dan instruktur provinsi masing-masing.
Keberadaan lebih dari tiga lumbung dalam provinsi dapat dijadikan nilai plus bahwasanya provinsi tersebut merupakan lumbung negara yang siap sedia untuk menyuplai kebutuhan provinsi lain dalam pemenuhan pangan. Jika pada tiap provinsi sudah memiliki minimal satu untuk daerah tidak padat penduduk dan tiga untuk daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Sumatera, maka tujuan tahap 2 sudah terpenuhi. Tahap tiga merupakan pengoperasian lanjutan oleh pemerintah dan penyedia pangan seluruhnya dalam menyuplai produk pangan dan turunannya dalam skala nasional dan pemenuhan kebutuhan sehingga surplus skala provinsi dapat dimaksimalkan dan dikumpulkan menjadi surplus pangan secara nasional yang berkelanjutan. Pada tahap tiga ini, tiap provinsi dituntut untuk dapat swasembada dan memenuhi kebutuhan masyarakat dalam provinsi-nya, tata cara pemenuhan pangan per provinsi diupayakan oleh penyelenggara pemerintahan yang bekerjasama dengan petani/poktan/gapoktan setempat.
Provinsi tertentu dapat dikecualikan apabila sumber daya alam-nya memang tidak dapat memenuhi persyaratan pertumbuhan tanaman pangan dan telah dilakukan perbaikan tanah namun tetap tidak dapat dijadikan lahan pertanian tanaman pangan. Apabila terjadi hal seperti ini, bahkan untuk mendapatkan kabupaten yang surplus tidak ada, maka provinsi terdekat menyediakan surplus untuk keduanya. Jika telah terpenuhi dan masih surplus maka keduanya dapat dikatakan mandiri pangan bersyarat dan dikhususkan dalam pengelolaannya oleh pemerintah pusat. Setelah terdata semua provinsi yang surplus pangan dengan kategori minimal 1 daerah lumbung pangan untuk provinsi tidak padat penduduk dan 3 daerah lumbung pangan untuk provinsi padat penduduk, provinsi-provinsi khusus dan tidak ada provinsi yang tersisa, maka negara secara nasional dapat dikatakan mandiri pangan dan secara berkelanjutan maka dapat dikatakan swasembada pangan.
Ini versi dari penulis solosilentagrospot.blogspot.com untuk menghitung bagaimana skala swasembada pangan dapat dicapai melalui penanganan petani/poktan/gapoktan. Poktan dan gapoktan sendiri juga dapat tergabung secara nasional dalam berbagai upaya peningkatan kinerjanya maupun lingkup produksi dan hasilnya. Gapoktan juga dapat dikategorikan sendiri dengan fokus produksinya seperti Gapoktan Padi skala nasional, dll.
Kesimpulannya dalam skala kerja swasembada pangan nasional, terdapat 3 (tiga) pelaku lapangan yang harus dipenuhi, yakni:
1. Warga desa sebagai pusat produksi tanaman pangan.
2. Petani/poktan/gapoktan dan dinas terkait tiap kabupaten.
3. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kementerian terkait dan Dinas setingkat Provinsi.
Dan juga terdapat 3 (tiga) tahapan yang harus dicapai, yakni:
1. Kemandirian desa dalam lingkup produksi.
2. Kesiapan Petani/Poktan/Gapoktan dan dinas setingkat kabupaten dalam menyelenggarakan daerahnya sebagai lumbung pangan.
3. Kesiapan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kementrian terkait dan Dinas setingkat Provinsi dalam menyelenggarakan Provinsi yang swasembada pangan sebagai langkah awal untuk mencapai negara yang mandiri pangan.
Jika dipadatkan menjadi 3 (tiga) permasalahan, maka kendala yang akan dihadapi untuk mencapai keswasembadaan pangan yang berkelanjutan secara nasional, sebagai berikut:
1. Pengetahuan dan pengalaman warga desa sebagai petani dan anggota poktan dalam sektor produksi tani.
2. Alur distribusi alat dan input produksi pertanian dari dinas terkait. Sebaliknya dari petani adalah alur distribusi hasil pertanian yang kondusif dan keamanan harga pangan.
3. Keberpihakan aturan dan manajemen Pemerintah Pusat dalam menanggapi persoalan baik di dalam pemerintahan sendiri maupun dari kegiatan di lapangan.
Maka ditemui 3 (tiga) pemecahan yang dapat dilakukan, seperti:
1. Fokus pendidikan praktik pertanian yang kompeten bagi para petani.
2. Manajemen distribusi yang didukung oleh dinas terkait se-kabupaten dan pemasaran yang memadai dengan menjadikan petani sebagai pelaku produksi dan penerima imbal jasa produksinya.
3. Pembuatan UU, Perpres (Peraturan Presiden), Permentan (Peraturan Menteri Pertanian), Perda (Peraturan Daerah) dan sebagainya yang mendukung kesejahteraan petani dan mendorong tercapainya keswasembadaan pangan secara nasional.
Masyarakat dapat menilai sejauh mana program-program ini terealisasikan dan dapat memberikan masukan terhadap kebijakan maupun kritik/saran yang membangun. "Buah jatuh tidak jauh dari pohon dan Apapun yang ditanam mesti akan memberikan hasil".
Dasar Hukum: Permentan No.82 tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Poktan dan Gapoktan
Modal awal dalam pengoperasian kelompok tani adalah RDK dan RDKK yang didukung dengan program-program pemerintah seperti pupuk subsidi, asuransi lingkup kerja tani dan lainnya yang merupakan bukti kesungguhan pemerintah dalam mendampingi tata kelola pertanian secara menyeluruh. RDK/Rencana Definitif Kelompok adalah rencana yang disusun secara sistematis dan terperinci mengenai program kerja yang akan dilakukan selama masa produksi 1 tahun. Hal-hal yang terkait dengan rumusan RDK ini, misalnya sumber daya alam dan manusia (SDA/M), potensi wilayah, kinerja petani, tujuan produksi, pemilihan bibit, pembagian sektor kerja antar anggota dan sebagainya. RDK akan diperbaharui setelah berlangsung setahun dan RDK sebelumnya dicatat dan disimpan oleh pengurus poktan agar menjadi bahan evaluasi kerja pada periode RDK selanjutnya.
RDKK/Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok merupakan kumpulan RDK dalam beberapa tahun ditambahkan dengan sarana dan prasarana secara menyeluruh dalam lingkup kerja pertanian sepanjang kegiatan pertanian yang dilakukan poktan masih berjalan. Yang termasuk ke dalam RDKK selain RDK antara lain kredit permodalan usaha tani, biaya sewa lahan per 5-10 tahun, biaya pengadaan alat pertanian dan pengoperasiannya selama masa produksi, subsidi peralatan yang mengalami penyusutan selama pengoperasian, dan sebagainya. Biasanya poktan yang masih baru atau pengurus poktan yang belum begitu berpengalaman akan ada pendampingan dari dinas terkait atau penyuluh pertanian dalam penyusunan RDK/RDKK agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pendampingan dapat dilakukan secara terus-menerus atau dihentikan bergantung kesiapan pengurus dan anggota poktan dalam melakukan kegiatannya sebagai bagian dari sistem produksi nasional yang diharapkan dengan kesiapannya poktan dan gapoktan ini akan menyumbangkan nilai positif dalam neraca produksi nasional sehingga mencapai hasil akhir yang diharapkan yakni keswasembadaan pangan secara nasional.
Pada awalnya, kemandirian produksi dari poktan dan gapoktan ini akan meningkatkan ekonomi makro desa tempat tinggalnya. Bagi pemerintah ini merupakan awal yang bagus karena secara mikro dalam skala nasional pedesaan-pedesaan sudah dapat mandiri pangan dan memberikan surplus yang digunakan untuk menyuplai daerah perkotaan sekitar. Jika secara makro, seluruh pedesaan se-nusantara sudah dapat memenuhi kebutuhan (bukan permintaan) desanya dan surplus dapat memenuhi pasar kota sekitarnya. Tujuan pertama dari swasembada sudah ada di tangan. Produksi pertanian berjalan ke tingkat berikutnya, yakni penerapan lumbung pangan nasional bagi daerah kabupaten yang memenuhi persediaan kabupatennya sendiri kota terdekatnya dan masih terdapat surplus. Kabupaten ini bisa berdiri sendiri atau bersama dengan beberapa kabupaten lain untuk tujuan pemenuhannya dalam skala kabupaten-kabupaten tersebut dan kota di dekatnya. Jika sudah terbentuk beberapa kabupaten yang siap menjadi 'lumbung-lumbung pangan' tersebut, maka awal dari tujuan kedua sudah ada di depan mata. Sisanya tinggal mengumpulkan kabupaten lain dan sebaiknya untuk tiap provinsi terdapat sekitar 3 (tiga) lumbung atau minimal 1 (satu) disesuaikan dengan kesiapan infrastruktur dan instruktur provinsi masing-masing.
Keberadaan lebih dari tiga lumbung dalam provinsi dapat dijadikan nilai plus bahwasanya provinsi tersebut merupakan lumbung negara yang siap sedia untuk menyuplai kebutuhan provinsi lain dalam pemenuhan pangan. Jika pada tiap provinsi sudah memiliki minimal satu untuk daerah tidak padat penduduk dan tiga untuk daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Sumatera, maka tujuan tahap 2 sudah terpenuhi. Tahap tiga merupakan pengoperasian lanjutan oleh pemerintah dan penyedia pangan seluruhnya dalam menyuplai produk pangan dan turunannya dalam skala nasional dan pemenuhan kebutuhan sehingga surplus skala provinsi dapat dimaksimalkan dan dikumpulkan menjadi surplus pangan secara nasional yang berkelanjutan. Pada tahap tiga ini, tiap provinsi dituntut untuk dapat swasembada dan memenuhi kebutuhan masyarakat dalam provinsi-nya, tata cara pemenuhan pangan per provinsi diupayakan oleh penyelenggara pemerintahan yang bekerjasama dengan petani/poktan/gapoktan setempat.
Provinsi tertentu dapat dikecualikan apabila sumber daya alam-nya memang tidak dapat memenuhi persyaratan pertumbuhan tanaman pangan dan telah dilakukan perbaikan tanah namun tetap tidak dapat dijadikan lahan pertanian tanaman pangan. Apabila terjadi hal seperti ini, bahkan untuk mendapatkan kabupaten yang surplus tidak ada, maka provinsi terdekat menyediakan surplus untuk keduanya. Jika telah terpenuhi dan masih surplus maka keduanya dapat dikatakan mandiri pangan bersyarat dan dikhususkan dalam pengelolaannya oleh pemerintah pusat. Setelah terdata semua provinsi yang surplus pangan dengan kategori minimal 1 daerah lumbung pangan untuk provinsi tidak padat penduduk dan 3 daerah lumbung pangan untuk provinsi padat penduduk, provinsi-provinsi khusus dan tidak ada provinsi yang tersisa, maka negara secara nasional dapat dikatakan mandiri pangan dan secara berkelanjutan maka dapat dikatakan swasembada pangan.
Ini versi dari penulis solosilentagrospot.blogspot.com untuk menghitung bagaimana skala swasembada pangan dapat dicapai melalui penanganan petani/poktan/gapoktan. Poktan dan gapoktan sendiri juga dapat tergabung secara nasional dalam berbagai upaya peningkatan kinerjanya maupun lingkup produksi dan hasilnya. Gapoktan juga dapat dikategorikan sendiri dengan fokus produksinya seperti Gapoktan Padi skala nasional, dll.
Kesimpulannya dalam skala kerja swasembada pangan nasional, terdapat 3 (tiga) pelaku lapangan yang harus dipenuhi, yakni:
1. Warga desa sebagai pusat produksi tanaman pangan.
2. Petani/poktan/gapoktan dan dinas terkait tiap kabupaten.
3. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kementerian terkait dan Dinas setingkat Provinsi.
Dan juga terdapat 3 (tiga) tahapan yang harus dicapai, yakni:
1. Kemandirian desa dalam lingkup produksi.
2. Kesiapan Petani/Poktan/Gapoktan dan dinas setingkat kabupaten dalam menyelenggarakan daerahnya sebagai lumbung pangan.
3. Kesiapan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kementrian terkait dan Dinas setingkat Provinsi dalam menyelenggarakan Provinsi yang swasembada pangan sebagai langkah awal untuk mencapai negara yang mandiri pangan.
Jika dipadatkan menjadi 3 (tiga) permasalahan, maka kendala yang akan dihadapi untuk mencapai keswasembadaan pangan yang berkelanjutan secara nasional, sebagai berikut:
1. Pengetahuan dan pengalaman warga desa sebagai petani dan anggota poktan dalam sektor produksi tani.
2. Alur distribusi alat dan input produksi pertanian dari dinas terkait. Sebaliknya dari petani adalah alur distribusi hasil pertanian yang kondusif dan keamanan harga pangan.
3. Keberpihakan aturan dan manajemen Pemerintah Pusat dalam menanggapi persoalan baik di dalam pemerintahan sendiri maupun dari kegiatan di lapangan.
Maka ditemui 3 (tiga) pemecahan yang dapat dilakukan, seperti:
1. Fokus pendidikan praktik pertanian yang kompeten bagi para petani.
2. Manajemen distribusi yang didukung oleh dinas terkait se-kabupaten dan pemasaran yang memadai dengan menjadikan petani sebagai pelaku produksi dan penerima imbal jasa produksinya.
3. Pembuatan UU, Perpres (Peraturan Presiden), Permentan (Peraturan Menteri Pertanian), Perda (Peraturan Daerah) dan sebagainya yang mendukung kesejahteraan petani dan mendorong tercapainya keswasembadaan pangan secara nasional.
Masyarakat dapat menilai sejauh mana program-program ini terealisasikan dan dapat memberikan masukan terhadap kebijakan maupun kritik/saran yang membangun. "Buah jatuh tidak jauh dari pohon dan Apapun yang ditanam mesti akan memberikan hasil".
Comments
Post a Comment